Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ketahuilah, wahai saudaraku seiman yang tercinta, Allah yang Maha Rahman dan Rahim telah memberikan kepada kita, hambaNya, nikmat yang jumlahnya tidak terhingga. Dengannya, kita dapat melaksanakan yang Dia perintahkan hingga membuatNya mencintai hamba-hambaNya. Akan tetapi, dengannya pula kita dapat melakukan yang Dia larang dan membuatNya murka. Ketahuilah, wahai saudaraku tercinta, jika kau dicintai olehNya, maka itu sungguh cukup untuk kau berbahagia. Adapun jika kau dimurkai olehNya, maka sesungguhnya tidak ada penolong bagimu kecuali kau kembali ke jalanNya.
Sebagai hamba Allah, kita diwajibkan untuk beribadah kepada-Nya dengan seluruh nikmat yang telah Dia berikan. Salah satu nikmat yang luar biasa Allah berikan kepada hambaNya sehingga dengannya ia bisa menjadi orang yang berbuat kebaikan atau menjadi orang yang berbuat keburukan adalah lisan. Perkara lisan sungguhlah perkara yang besar, wahai saudaraku tercinta. Alangkah beruntungnya seorang hamba yang bisa menjadikan lisannya sebagai wasilah ibadah kepada Rabbnya, penyejuk hati sahabat-sahabatnya, dan mutiara hikmah bagi muridnya dan muslim lainnya secara umum. Izinkan kami memulai tulisan singkat yang penuh dengan kekurangan ini –dan kami berharap Allah memaafkan kami, dengan memohon kepadaNya semoga kita semua diberikan hidayah dan taufiqNya untuk menjadikan lisan kita semua menjadi lisan yang penuh dengan kebaikan, manfaat dan wasilah untuk keselamatan dunia dan akhirat. Allahumma aamiin. Dan kami berlindung kepadaNya dari lisan yang penuh dengan kejahatan, kerugian dan menjadikan kita celaka di dunia dan akhirat. Wal ‘iyyadzu billah.
Besarnya perkara lisan
Seberapa penting dan besar perkara lisan?
Allah ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an,
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.”
(QS. Al-Isra: 36)
“Maksudnya,” Imam Ibnu Katsir menafsirkan dalam kitabnya Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, “seorang hamba kelak akan dimintai pertanggungjawaban mengenai hal itu pada hari kiamat serta apa yang telah dilakukan semua anggota tubuh tersebut”.
Dalam suatu hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Bukankah yang menjerumuskan manusia ke dalam neraka tersungkur kepalanya atau di atas hidungnya tidak lain adalah karena kejahatan lisan mereka?!”
(HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir)
Diriwayatkan bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu‘anhu pernah memasukkan batu ke dalam mulutnya yang mencegahnya dapat berbicara. Dia hanya berisyarat ke arah lisannya dan mengatakan, “Inilah yang menjadi segala sumber celaka bagiku. Kekanglah ia sekuat tenagamu, karena ia merupakan faktor utama yang membuatmu celaka di dunia dan akhirat”.
“Demi Allah yang tiada Tuhan yang berhak disembah selain Dia,” Ibnu Mas’ud radhiyallahu‘anhu bersumpah, diriwiyatkan ath-Thabrani, menandakan pentingnya perkataan selanjutnya ini, “tidak ada sesuatupun yang lebih memerlukan pengekangan yang lebih lama selain dari lisan”.
“Adapun lisan,” Imam Al-Haddad menjelaskan dalam kitabnya Nashaihud Diniyyah, “merupakan nikmat terbesar yang Allah berikan kepada hambaNya. Di dalamnya terdapat kebaikan yang besar dan manfaat yang banyak bagi siapa saja yang menjaganya dan menggunakannya sesuai dengan untuk apa ia diciptakan. Dan juga, di dalamnya terdapat keburukan yang banyak, dan bahaya yang besar bagi siapa saja yang tidak memerdulikannya dan menggunakannya tidak sesuai dengan untuk apa ia diciptakan”.
“Perlu diketahui,” Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali menulis dalam kitabnya Mukhtashar Ihya ‘Ulumuddin, “bahwa bahaya lisan itu sangat besar dan tidak ada cara untuk menghindarinya kecuali dengan diam”.
Dari ayat Al-Qur’an, hadits shahih Rasulullah, atsar para sahabat Nabi dan penjelasan ulama-ulama di atas, kami kira lebih dari cukup untuk menyimpulkan bahwa perkara lisan adalah perkara yang sangat penting dan besar. Masihkah kita ragu atas pentingnya perkara tersebut? Masihkah kita ingin bermain-main dengannya? Semoga kita dijauhkan dari keraguan dan kerugian dari bahaya lisan ini. Allahumma aamiin.
Bahaya Lisan
Jika kau sudah cukup yakin dengan pentingnya bahaya lisan, mungkin kau akan bertanya, bahaya apa saja dari lisan yang harus aku jaga daripadanya?
Ketahuilah, wahai saudaraku, bahwa bahaya lisan sangatlah banyak. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Mukhtashar Ihya ‘Ulumuddin dan Afatul Lisan menuliskan 20 jenis bahaya lisan. Kemudian beliau meringkasnya kembali dalam kitabnya Bidayatul Hidayah menjadi sebanyak 8 jenis bahaya lisan. Adapun kami dalam kesempatan ini akan menuliskan 5 bahaya lisan yang cukup sering dilakukan oleh muslimin dan muslimat di akhir zaman ini. Wal ‘iyyadzu billah. Jika kau mau, bacalah kitab-kitab imam Al-Ghazali yang kami sebutkan untuk menambah keyakinanmu dan kesungguhanmu dalam menjauhi bahaya-bahaya ini.
1. Berdusta
Apa hakikat dan batasan berdusta itu?
Berdusta diartikan mengatakan sesuatu tanpa kebenaran di dalamnya. Jenis dusta itu sangatlah banyak. Contoh sederhana dari berdusta adalah yang terdapat sebuah hadits shahih berikut.
Suatu hari Abdullah bin Amir dipanggil oleh ibunya untuk diberikan kurma. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sungguh, jika kamu tidak memberinya sesuatu, maka kamu akan dicatat berbohong satu kali”
(HR. Abu Dawud)
Jika kau sudah mengetahui apa itu dusta, kau akan bertanya apa bahaya dari dusta itu?
Ketahuilah, wahai saudaraku, berdusta atau kadzab merupakan sifat yang sangat tercela dan besar bahayanya. Sifat ini merupakan salah satu dosa besar setelah syirik dan durhaka kepada orang tua dalam hadits masyhur yang diriwayatkan oleh Syaikhan dari Abu Bakrah. Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Al-Kabair memasukkan berdusta dosa besar ke-30. Sungguh rugi dan celaka orang yang menanggap ringan perkara dusta ini. Masih baikkah keadaan iman seseorang yang menganggap ringan suatu dosa besar? Wal ‘iyyadzu billah.
Sungguh banyak sekali bahaya yang engkau akan dapatkan jika engkau berdusta. Diantaranya adalah
Pertama, engkau dianggap sebagai orang yang tidak beriman.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an,
“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta.”
(QS. An-Nahl: 105)
Imam Malik meriwayatkan dalam kitabnya Al-Muwaththa’ bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya, mungkinkah seorang mukmin itu menjadi pendusta?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tidak, sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah…”
Kedua, engkau termasuk orang yang celaka dan dilaknat oleh Allah.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an,
“… kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.”
(QS. Ali Imran: 61)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang ingin terlaknat/ternodai jiwa/dirinya, maka berdustalah”
(Al-Hadits)
Ketiga, dusta akan membawamu ke neraka dan dicatat sebagai pendusta.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“…Dan sesungguhnya dusta itu bisa mengantarkan kepada dosa, dan dosa itu bisa mengantarkan kepada neraka, dan tidaklah seseorang itu terus menerus berbuat dusta sampai dia dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.”
(HR. Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim)
Keempat, engkau termasuk orang yang munafik.
Dalam suatu hadits masyhur, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu jika dia berbicara, dia berbohong; jika dia berjanji, dia tidak menepati; jika dia diberi amanah, dia khianat.”
(HR. Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim)
Kelima, dapat menghilangkan kesegaran dan keceriaan wajah.
“Empat hal yang dapat menghilangkan kesegaran dan keceriaan wajah,” Syaikh Dr. Aidh Al-Qarni menyebutkannya dalam karya beliau yang fenomenal Laa Tahzan “antara lain berbohong, tak tahu malu, terlalu banyak bertanya yang tanpa dasar, dan banyak melakukan maksiat”
Keenam, tak bisa dibedakan mana yang benar dan yang salah.
Jujurlah, wahai saudaraku, jika ada temanmu atau orang yang lain berbohong, bisakah kau tahu bahwa dia berbohong? Jika dia pandai dan lihai menyelipkan kata-kata dusta di antara kata-katanya, mampukah kau mengetahuinya? Mungkin kau bisa tetapi hanya sedikit yang dapat membedakannya. Jika sejak zaman Rasulullah saja berita bohong tentang ‘Aisyah sudah terjadi dan tersebar, kemudian Rasulullah menjauhinya karena berita bohong tersebut, bagaimana dengan kita yang hidup di zaman yang disebut dengan zaman fitnah ini? Semoga Allah menyelamatkan kita dari bahaya-bahaya dusta pada zaman ini. Allahumma aamiin.
Mungkin kau akan bertanya, bagaimana dengan dusta dalam canda hanya ingin membuat orang tertawa?
Ketahuilah, wahai saudaraku seiman, dusta dalam canda memiliki keharaman yang sama dengan dusta lainnya. Dalilnya banyak, tetapi kami kira cukup mencantumkan salah satunya untuk mempersingkat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Celakalah bagi yang berbicara kemudian berdusta hanya karena ingin membuat suatu kaum tertawa. Celakalah dia, celakalah dia.”
(HR. Imam Abu Dawud dan Imam At-Tirmidzi)
Wahai saudara-saudaraku, bahasan mendalam tentang berdusta sangatlah banyak. Karena keterbatasan ilmu, ruang dan waktu, kami tutup pembahasan singkat tentang berdusta ini dengan kutipan Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Bidayatul Hidayah. Beliau mengatakan,
“Jagalah lidahmu agar jangan sam¬pai berdusta, baik dalam keadaan serius atau bercanda. Jangan kau biasakan dirimu berdusta dalam canda karena hal itu akan membawamu untuk berdusta dalam hal yang bersifat serius. Berdusta termasuk dosa-dosa besar. Kemudian, jika kau dikenal memiliki sifat seperti itu, maka tidak akan ada lagi yang memercayai perkataanmu dan engkau akan hina dan dipandang sebelah mata. Apabila engkau ingin mengetahui rusaknya perkataan dustamu, maka lihatlah perkataan dusta yang dilakukan orang lain. Kemudian lihat bagaimana engkau membenci, meremehkan, dan tidak menyukai perkataan dusta orang lain tersebut.”
2. Ghibah (menggungjing)
Apa hakikat dan batasan ghibah itu?
Untuk menjawab ini, kami menggabungkan pendapat-pendapat para ‘ulama seperti Imam Nawawi, Imam Al-Ghazali, dan Imam Al-Haddad. Mereka mengatakan “batasan menggunjung ialah bila kamu membicarakan seseorang muslim tentang apa yang tidak disukainya tentang dirinya jika dia mendengarnya langsung. Apa yang tidak disukainya ini meliputi kekurangannya dalam urusan agamanya, dunianya, badan atau rupanya, keluarganya, anaknya, perbuatannya, ucapannya, sampai hal-hal seperti pakaian, rumah dan kendaraannya.” Mereka juga menambahkan bahwa menggunjing bukan hanya sebatas ucapan kata-kata yang keluar dari mulut seseorang, tetapi juga termasuk menulis (dalam sosial media, surat kabar dan lain-lain), isyarat badan atau sejenisnya. Oleh karena itu, introspeksilah diri ini, wahai saudaraku, seberapa seringkah kita melakukan apa yang disebutkan ulama-ulama di atas dalam sehari? Wal ‘iyyadzu billah.
Setelah mengetahui definisi ghibah itu, kau mungkin bertanya bagaimana islam menghukumi ghibah ini?
Ketahuilah, wahai saudaraku, bahwa sesungguhnya ghibah itu adalah hal yang haram dan tidak ada perbedaan pendapat ‘ulama tentang hukumnya. Tentang dalil keharamannya sungguh sangatlah banyak. Karena keterbatasan, kami hendak menyebutkan beberapa saja dan engkau bisa membaca lebih banyak dalam kitab-kitab para ‘ulama.
Pertama, disamakan dengan memakan bangkai saudaranya sendiri.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Apakah kalian suka salah seorang dari kalian memakan daging bangkai saudaranya sendiri yang telah mati? pasti kalian membencinya. Maka bertaqwalah kalian kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima taubat dan Maha Pengasih”.
(QS. Al Hujurat: 12)
“Artinya,” Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut dalam kitabnya, “sebagaimana kalian membenci hal ini (memakan bangkai saudaranya sendiri yang telah mati) secara naluriah, maka kalian juga harus membencinya berdasarkan syari’at. Karena hukumannya lebih keras dari memakan daging bangkai dan hal itu adalah upaya menjauhkan diri dari perbuatan tersebut serta bersikap waspada terhadapnya.”
Kedua, lebih berat dari zina.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Hindarilah olehmu perbuatan menggunjing, karena sesungguhnya menggunjing itu lebih berat dari zina, sebab seorang lelaki apabila melakukan zina lalu ia bertobat, maka Allah dapat menerima taubatnya, Dan sesungguhnya orang yang menggunjing itu tidak dapat diampuni sebelum teman yang digunjing memaafkannya.”
(HR. Imam Ath-Thabrani)
Ketiga, adzab di neraka yang amat keras.
Dalam sebuah hadits shahih lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Ketika aku diangkat (mi’raj) ke langit, aku melewati kaum yang berkuku tembaga yang mencakar dada dan wajah mereka. Aku bertanya, siapakah mereka itu Jibril? Kemudian Jibril menjawab: Mereka itu adalah orang-orang yang selalu memakan daging-daging orang lain (menggunjing) dan tenggelam dalam menodai kehormatan mereka.”
(HR. Imam Abu Dawud dan Imam Ahmad)
Keempat, setara dengan riba yang paling berat.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Riba itu ada 72 pintu. Riba yang paling ringan adalah seperti dosa seorang anak berzina dengan ibu kandungnya sendiri. Adapun dosa riba yang paling berat adalah dosa seseorang membeberkan kehormatan saudaranya sesama muslim.”
(HR. Imam Ath-Thabrani dan Imam Hakim)
Kelima, golongan awal masuk neraka.
Diriwayatkan bahwa Allah memberikan wahyu kepada nabi Musa ‘alaihis salam,
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan telah bertobat dari perbuatan ghibah, maka dia adalah golongan akhir masuk surganya. Dan barangsiapa yang mati dalam keadaan menetapi perbuatan ghibahnya, maka dia adalah golongan awal yang masuk neraka.”
Keenam, mengirimkan pahala kebaikan kita kepada orang yang dibicarakan dan menerima dosa kejahatan orang yang dibicarakan kepada kita.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pernah ada seseorang berkata kepada Imam Hasan Al-Bashri, “Wahai Abu Said, si fulan telah menceritakan keburukanmu.” Kemudian Imam Hasan Al-Bashri segera mengirim satu nampan kurma kepada orang yang telah menggunjingnya. Ia juga berpesan, “aku telah mendengar bahwa engkau telah menghadiahkan kebaikan-kebaikanmu kepadaku, jadi aku senang membalas kebaikanmu itu”. (lihat kitab Minhajul ‘Abidin karya Imam Al-Ghazali)
Mungkin kau akan bertanya, bagaimana dengan kami yang hanya mendengar pembicaraan yang mengandung ghibah saudara kami di dalamnya?
“Dan pendengarnya sama dengan orang yang melakukannya (ghibah),” Imam Al-Ghazali menjelaskan dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin “selama si pendengar menyetujui apa yang dikatakannya, karena ia dinilai sebagai teman dan sekutu pelakunya”.
Ibrahim bin Adham, seorang ulama besar, pernah menghadiri walimah tetangganya dan mendengarkan suatu ghibah. Kemudian beliau tidak mau makan tiga hari tiga malam dan melantunkan syair berikut.
Dan pada pendengaranmu, jagalah dari mendengarkan keburukan
Seperti menjaga lisan dari mengucapkan keburukan
Sesungguhnya engkau ketika mendengarkan keburukan
Menjadi sekutu bagi pelakunya, maka jadikanlah perhatian
(Lihat Kitab Al-Adzkar karya Imam An-Nawawi)
Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali dalam kitabnya bidayatul hidayah kembali menasihati kita sebagai muridnya tentang ghibah ini. Beliau mengatakan, “Peliharalah lidahmu dari menggunjing orang. Dalam Islam, orang yang melakukan perbuatan tersebut lebih hebat daripada tiga puluh orang pezina. Begitulah yang terdapat dalam riwayat. Hindarilah untuk menggunjing secara halus. Yaitu, misalnya engkau nyatakan maksudmu secara tidak langsung dengan berkata, “Semoga Allah memperbaiki orang itu. Sungguh tindakannya sangat buruk padaku. Kita meminta kepada Allah agar Dia memperbaiki kita dan dia.” Di sini terkumpul dua hal yang buruk, yaitu ghibah dan merasa bahwa diri sendiri bersih tidak bersalah. Tapi, jika engkau benar-benar bermaksud mendoakannya, maka berdoalah secara rahasia jika engkau merasa berduka dengan perbuatannya. Dengan demikian, jelaslah bahwa engkau tak ingin membuka rahasia dan aibnya. Kalau engkau menampakkan dukamu karena aibnya, berarti engkau sedang membuka aibnya.”
Kami kira cukup memberikan beberapa bahaya yang akan dijumpai terkait dengan ghibah. Oleh karena itu, wahai saudaraku, mari kita sama-sama ‘azamkan dalam hati kuat-kuat bahwa kita akan berhenti melakukannya mulai saat ini juga! Berusahalah dengan sekuat tenaga untuk menjauhi perkara yang besar ini. Usaha kita memang membutuhkan waktu seumur hidup. Maka mulailah memperbaiki diri dari sekarang!
Wallahu a’lam
3. Mengejek atau mencela
Ketahuilah saudara-saudaraku tercinta, bahwa mengejek, mencela, dan melecehkan sesama muslim saat ini sangatlah ramai kita lihat di berbagai media sosial yang ada. Kemudian membuka aibnya di depan umum dan menertawakannya bersama-sama. Ada yang mencela ‘ulama, keluarga sendiri, kerabat, sampai sahabat sendiri pun dihina. Padahal hakikat dari mengejek, menghina, mencela adalah merendahkan orang lain dan secara tidak langsung menaikkan/mensucikan dirinya dibandingkan orang lain. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam suatu hadits “Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia” (Al-Hadits)
Sungguh, bahaya dan ancaman mengejek dan mencela sangatlah banyak. Engkau bisa membacanya lebih banyak di kitab-kitab para ‘Ulama. Adapun di sini kami akan menyebutkan beberapa saja karena berbagai keterbatasan. Mudah-mudahan itu cukup untuk menjauhkan kita darinya. Allahumma aamiin.
Pertama, Allah melarangnya dengan jelas dalam Al-Qur’an.
Allah ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki mencela kumpulan yang lain, boleh jadi yang dicela itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan mencela kumpulan lainnya, boleh jadi yang dicela itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan sebutan yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”
(QS. Al-Hujuraat: 11)
Kedua, Rasulullah menyebutnya termasuk perbuatan fasiq (dosa besar).
Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Mencaci maki orang mukmin itu adalah perbuatan fasiq, dan membunuhnya adalah kekufuran”
(HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Dalam sebuah hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Dua orang yang saling mencaci maki, balasannya adalah menurut apa yang dikatakan oleh keduanya. Berdosalah bagi yang memulai di antara mereka sehingga yang teraniaya membalas dengan caci makian.”
(HR. Imam Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Cukuplah seorang muslim dikatakan melakukan suatu keburukan jika dia merendahkan saudaranya yang muslim.”
(HR. Imam Muslim)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Orang mukmin itu bukanlah orang yang berjiwa pencela, pengutuk, berkata keji dan bukan pula berlidah kotor”
(HR. Imam At-Tirmidzi)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Termasuk dosa besar adalah dua orang yang saling mencela/mencaci maki dengan celaan dan cacian”
(Al-Hadits)
Ketiga, menjadi orang yang bangkrut di akhirat.
Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa dosa kedzaliman. Ia pernah mencela si ini, menuduh tanpa bukti terhadap si itu, memakan harta si anu, menumpahkan darah orang ini dan memukul orang itu. Maka sebagai tebusan atas kedzalimannya tersebut, diberikanlah di antara kebaikannya kepada si ini, si anu dan si itu. Hingga apabila kebaikannya telah habis dibagi-bagikan kepada orang-orang yang didzaliminya sementara belum semua kedzalimannya tertebus, diambillah kejelekan/kesalahan yang dimiliki oleh orang yang didzaliminya lalu ditimpakan kepadanya, kemudian ia dicampakkan ke dalam neraka.”
(HR. Imam Muslim)
Keempat, perkataan para ‘ulama.
Ibrahim bin Maisarah mengatakan, “ada yang mengatakan, bahwa orang yang berkata keji, dan berbuat keji, akan didatangkan pada hari kiamat dalam bentuk rupa anjing”
(Lihat Kitab Afatul Lisan karya Imam Al-Ghazali)
Kami tutup penjelasan ini dengan mengutip nasihat Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Bidayatul Hidayah. Beliau mengatakan, “Jangan sampai engkau mencela ciptaan Allah baik itu hewan, makanan, ataupun manusia. Janganlah engkau dengan mudah memastikan seseorang yang menghadap kiblat sebagai kafir, atau munafik. Karena, yang mengetahui semua rahasia hanyalah Allah. Oleh karena itu, jangan mencampuri urusan antara hamba dan Allah. Ketahuilah bahwa pada hari kiamat engkau tak akan ditanya, “Mengapa engkau tidak mencela si fulan? Mengapa engkau mendiamkannya?” Bahkan, walaupun engkau tidak mencela iblis sepanjang hidupmu dan engkau melupakannya, engkau tetap tak akan ditanya tentang hal itu serta tak akan dituntut karenanya pada hari kiamat. Tapi, jika engkau mencela salah satu makhluk Allah, engkau akan dituntut. Jangan engkau mencerca sesuatu pun dari makhluk Allah. Nabi Muhammad sendiri saja sama sekali tidak pernah mencela makanan yang tidak enak. Jika beliau berselera dengan sesuatu, beliau memakannya. Jika tidak, beliau tinggalkan.”
Wallahu a’lam
4. Melaknat
Adapun melaknat dapat dilakukan kepada hewan, tumbuhan, manusia atau makhluq Allah lainnya. Melaknat merupakan kebiasaan yang lebih tercela dari mengejek atau mencela. Mengapa? Karena dengan melaknat kita merendahkan orang serendah-rendahnya di hadapan kita, mendoakannya keburukan dan kecelakaan, menjauhkan dari Allah dan memasukannya ke dalam neraka. Wal ‘iyyadzu billah.
Bagaimana hukum melaknat dalam islam?
Hujjatul Islam membaginya kepada tiga tingkatan dalam kitabnya afatul lisan.
a. Laknat yang sifat dan skalanya lebih umum
Misal kau mengatakan, “Laknat Allah atas orang-orang kafir, pelaku bid’ah dan orang-orang fasiq”. Maka hukumnya boleh.
b. Laknat yang sifat dan skalanya lebih khusus
Misal kau mengatakan, “Laknat Allah atas orang-orang yahudi, nashrani, majusi, qadariyyah, jabbariyyah, khawarij, syi’ah, dan pezina dan pemakan riba”. Maka hukumnya boleh.
c. Kutukan terhadap orang tertentu
Misal kau mengatakan, “Aku berharap Fulan mendapatkan laknat, murka dan adzab dari Allah karena dia berzina”. Maka hukumnya tidak boleh dan sangat berbahaya. Kecuali bagi orang-orang kafir yang sudah dipastikan kematiannya dalam keadaan kafir maka itu boleh. Sebaiknya tidak dilakukan, karena tidak melaknat seseorang itu lebih aman dan tidak akan Allah tanya, “mengapa kamu tidak melaknatnya?”. WaAllahu a’lam
Adapun dalam membid’ahkan seseorang, maka kutukan ini berbahaya. Karena mengenal bid’ah itu tidak mudah diketahui dan membid’ahkan berarti sama dengan memasukkan seseorang ke dalam neraka Jahannam dan itu ada seburuk-buruk adzab. Sebaiknya, hal tersebut tidak dilakukan oleh orang awam karena akan mengobarkan pertentangan, perpecahan dan kerusakan di antara manusia. Begitu Imam Al-Ghazali menjelaskan. WaAllahu a’lam
Adapun dalil-dalil tentang larangan melaknat sangatlah banyak. Kau bisa membacanya lebih banyak di kitab-kitab para ‘ulama seperti kitab Afatul Lisan karya Imam Al-Ghazali. Adapun kami hanya menuliskan secara singkat saja.
Pertama, dalam Al-Qur’an Allah melarangnya karena itu adalah urusan Allah.
Allah subhanahu wata’ala berfirman “…Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim”
(QS. Ali-Imran: 128)
Kedua, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melarangnya dalam beberapa hadits berikut.
“Tidaklah seseorang menuduh orang lain kufur dan tidak pula menuduhnya dengan tuduhan fasik, melainkan tuduhan itu akan kembali pada dirinya sendiri, jika yang tertuduh tidak seperti yang dituduhkan itu.”
(HR. Imam Al-Bukhari)
“Barangsiapa yang mengutuk orang mukmin maka dia seperti membunuhnya.”
(HR. Imam Al-Bukhari)
“Orang mukmin itu bukanlah orang yang suka melaknat.”
(HR. Imam At-Tirmidzi)
Ketiga, perkataan sahabat dan ‘ulama.
Ibnu ‘Umar radiyallahu ‘anhu mengatakan, “Manusia yang paling dimurkai Allah adalah pelaknat”.
Abu Darda’ radiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa apabila seseorang mengutuk bumi, maka bumi itu akan berkata, “mudah-mudahan Allah mengutuk orang yang paling durhaka kepadaNya di antara kita”.
Dari uraian singkat di atas, kami berdoa agar kita semua berhenti dan dijauhi oleh Allah dari perilaku mudah melaknat orang ini. Allahumma aamiin. Karena sesungguhnya, jika kau melaknat seseorang, kau tidak akan mendapatkan manfaatnya dan kemungkinan bahayanya akan lebih besar. Adapun jika kau diam, maka itu lebih aman. Wallahu a’lam.
5. Berdebat
Apa hakikat dan batasan dalam berdebat yang dimaksud?
“Adapun batasan mujadalah (berdebat),” Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Afatul Lisan menjelaskan “adalah perkataan degan tujuan mendiamkan atau mengalahkan orang lain dengan hujjah (alasan) yang bertujuan untuk mengungkapkan kekurangan dan kelemahan sehingga akan terlihat cacat dan kebodohannya.” Beliau menjelaskan bahwa berdebat dapat didorong oleh dua hal yaitu ingin menunjukkan keunggulannya di satu sisi dan/atau menjatuhkan dan mengungkapkan kekurangan orang lain. Adapun orang yang ingin menunjukkan keunggulan adalah sifat merasa sok suci dan orang yang ingin menjatuhkan orang lain adalah sifat binatang buas. Wal ‘iyyadzu billah.
Dari penjelasan di atas, berdebat berbeda dengan diskusi (mudzakarah). Adapun diskusi adalah perkataan yang bertujuan untuk saling mengingatkan, saling bertukar pikiran dan mengambil ilmu dari yang lain. Hal itu sangatlah baik. Karena dengan berdiskusi, perbedaan-perbedaan yang terdapat di umat Islam khususnya di Indonesia ini akan malah menimbulkan persatuan dan harmonisasi. Berbeda dengan perdebatan yang akan menyebabkan perpecahan di tubuh umat islam. Berdebat ini dikecualikan perdebatan antara seorang ‘ulama yang ‘alim dengan orang kafir, orang sesat, ahli bid’ah, orang fasiq atau munafiq. Tujuannya adalah agar umat Islam terselamatkan dari keburukan kesesatan pemikiran mereka. Wal ‘iyyadzu billah. Wallahu a’lam.
Adapun larangan dan bahaya berdebat yang buruk sangatlah banyak. Kau bisa membacanya pada kitab Afatul lisan karya Imam Al-Ghazali bahaya ke-4. Kami hanya mencantumkannya beberapa saja agar ringkas dan tidak menjadi bosan.
Pertama, Allah memerintahkan untuk mengajak dengan cara yang baik.
Allah subhanahu wata’ala berfirman “…Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”
(QS. An-Nahl: 125)
Kedua, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dan mengancamnya dalam beberapa hadits berikut.
“Orang yang paling dibenci oleh Allah adalah orang yang paling keras debatnya.”
(HR. Imam Al-Bukhari)
“Janganlah kamu berbantahan dengan saudaramu, janganlah kamu mempermainkannya, dan janganlah kamu berjanji padanya dengan suatu janji, lalu kamu tidak tepati janji itu.”
(HR. Imam At-Tirmidzi)
“Tidaklah suatu kaum akan tersesat setelah diberi petunjuk oleh Allah kecuali mereka mendatangi perdebatan.”
(HR. Imam At-Tirmidzi)
Ketiga, perkataan para sahabat dan para ‘ulama.
‘Umar bin Khaththab radiyallahu’anhu mengatakan, “janganlah kamu mencari ilmu karena tiga hal, yaitu untuk berdebat, kebanggaan pribadi, dan mencari popularitas.”
Muslim bin Yasar berkata, “jauhilah perdebatan, karena perdebatan itu menunjukkan saat kebodohan orang berilmu. Dan pada saat itulah syaithan berusaha akan menggelincirkannya”.
Malik bin ‘Anas radiyallahu ‘anhu juga mengatakan, “pertengakaran itu tidak ada urgensinya dalam pandangan agama. Perdebatan itu menyebabkan hati membatu dan menimbulkan kedengkian”.
Luqman Al-Hakim berkata kepada anaknya, “janganlah kamu berdebat dengan para ‘ulama, karena hal itu akan membuat mereka marah padamu.”
Kami tutup dengan mengutip nasihat Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Bidayatul Hidayah, yaitu: “Jangan sampai engkau tertipu oleh setan yang mengatakan, “Tampakkan yang benar, jangan bersikap lemah!” Sebab, setan akan selalu menjerumuskan orang bodoh kepada keburukan dalam bentuk kebaikan. Jangan sampai engkau menjadi bahan olok-olok setan sehingga dia menertawakanmu. Menunjukkan kebenaran kepada mereka yang mau menerimanya adalah suatu kebaikan. Tetapi hal itu harus dilakukan dengan cara memberikan nasihat secara tertutup bukan dengan cara berdebat. Sebuah nasihat memiliki karakter dan bentuk tersendiri dan harus dilakukan dengan cara yang baik. Jika tidak, ia hanya akan menampakkan kejelakan orang. Sehingga keburukannya lebih banyak daripada kebaikan yang ditimbulkannya. Ketahuilah, perdebatan merupakan sebab datangnya murka Allah dan murka makhluk-Nya.”
Penutup
Sebagai penutup, kami sebagai hamba Allah yang masih penuh kekurangan dan kelemahan dalam ilmu ini, ingin berdoa bersama kalian semua, wahai saudaraku tercinta. Semoga kita selalu diberikan kekuatan dari Allah untuk bisa terus berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga lisan ini dari segala bahaya yang kami telah sebutkan. Semoga kita selalu diberikan taufiq dan hidayah-Nya untuk menggunakan lisannya sesuai dengan untuk apa ia diciptakan. Allahumma aamiin. Akhir kata, aku mengutip sebuah kisah yang cukup masyhur. Dikatakan bahwa Imam Al-Ghazali pernah bertanya kepada murid-muridnya, “Apa sesuatu yang paling tajam di dunia ini?” Kemudian murid-muridnya beliau pun menjawab, “pedanglah yang paling tajam”. Kemudian Imam Al-Ghazali menjawab, “Itu benar, tapi yang paling tajam dari itu adalah lidah manusia, karena dengannyalah manusia dengan mudahnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.”
Akhkirul kalam. Wabillahit taufiq wal hidayah wal ridha wal ‘inayah.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Oleh:
Danindra Andri Hidayat – Mahasiswa FKUI 2014