Toleransi berasal dari kata “tasamuh” yang artinya samasama berlaku baik, lemah lembut, dan saling memaafkan. Menurut istilah, tasamuh dapat diartikan sebagai suatu akhlak terpuji di dalam bergaul, yang di dalamnya terdapat rasa saling menghargai antar sesama manusia. Nah, akhlak terpuji dalam bergaul ini kita terapkan kepada semua umat manusia baik kepada sesama muslim maupun kepada yang non-muslim.
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” [QS. Al Mumtahanah: 8-9]
Prinsip toleransi dalam Islam
Prinsip toleransi setiap muslim yaitu dengan berbuat baik pada orang lain. Kita diperbolehkan bekerja sama dan berlaku adil dengan siapapun dalam hal muamalah atau interaksi sosial. Adapun yang termasuk larangan adalah bila kita berkawan dengan orang yang secara nyata memusuhi agama Islam. Dengan demikian, Islam mengajarkan kita untuk berbuat baik dan adil kepada kaum non-muslim selama mereka tidak memusuhi agama kita. Kita pun boleh bekerja sama dalam perkara muamalah,
seperti jual-beli, bisnis, pekerjaan, dan sebagainya selama proyeknya halal. Kita tidak boleh berbuat dzalim terhadap mereka.
Adakah batasan?
Meskipun toleransi ini kita junjung tinggi, kita harus tahu batasannya. Batasan toleransi ini secara tegas diatur dalam QS Al Kafirun ayat 4-6 yang artinya: “Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu dan untukku agamaku.”
Dari ayat tersebut, tersirat bahwa Islam mengajarkan kita untuk mempersilakan umat lain beribadah atau merayakan hari raya sesuai kepercayaan mereka. Sebaliknya, kita pun hanya berserah kepada Allah SWT, bertauhid kepadaNya, serta berlepas diri dari kesyirikan dan orang musyrik. Hal ini merupakan wujud dari keyakinan, “Laa ilaha illallah” yang berarti “Tiada Tuhan selain Allah”. Keyakinan ini bukan perkara yang sepele karena menentukan hubungan antara umat dengan Rabb-nya, tujuan hidup dan nasibnya kelak di hari akhir.
Penasaran lanjutannya? Ingin mengetahui pendapat teman kita tentang bagaimana memaknai perbedaan keyakinan ini? Atau ingin tahu bagaimana agar dapat meneguhkan prinsip dan menerapkan toleransi dalam kehidupan sehari-hari? Baca selengkapnya di: